BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Right Button

test banner Selamat Datang Di Website Resmi Media Tri One Yang Di Persembahkan Oleh PT. One News Indonesia Group, Selamat Membaca

Transisi Energi Papua Harus Dimulai dari Pengakuan Kedaulatan Adat dan Suara Orang Papua

Sorong, Papua Barat Daya – Institut USBA menegaskan bahwa arah kebijakan transisi energi nasional di Tanah Papua harus berpijak pada pengakuan kedaulatan masyarakat adat, perlindungan hutan adat, serta pelibatan penuh suara orang Papua. Hal ini disampaikan Institut USBA dalam pernyataan resminya di Sorong, Minggu (28/12/25), menyikapi wacana pengembangan energi berbasis konversi lahan skala besar, khususnya penanaman kelapa sawit untuk biofuel.

Institut USBA menilai bahwa kebijakan transisi energi di Papua tidak boleh mengulangi kesalahan sejarah pembangunan di wilayah lain di Indonesia. Pengalaman di Sumatera dan Kalimantan menjadi pelajaran pahit, di mana ekspansi kelapa sawit skala besar telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang luas, mulai dari deforestasi masif, meningkatnya bencana banjir dan longsor, hingga konflik agraria berkepanjangan yang meminggirkan masyarakat adat dari tanahnya sendiri.

“Model pembangunan semacam ini tidak boleh dijadikan cetak biru bagi masa depan Papua. Mengusulkan sawit sebagai solusi energi justru merupakan langkah mundur yang berbahaya,” tegas Institut USBA dalam pernyataannya.

Lebih jauh, Institut USBA menekankan bahwa pembangunan di Papua bukan semata persoalan teknis atau ekonomi, melainkan persoalan kedaulatan. Otonomi Khusus Papua diberikan sebagai pengakuan atas hak-hak dasar orang Papua, termasuk hak untuk menentukan model pembangunan yang sejalan dengan nilai budaya, keberlanjutan ekologi, serta aspirasi kolektif masyarakat adat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dirumuskan secara sepihak tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat dinilai bertentangan dengan semangat dan mandat Otonomi Khusus.

Secara hukum, pemerintah juga memiliki kewajiban konstitusional untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Papua. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya Pasal 43, secara tegas mewajibkan negara untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memberdayakan hak ulayat masyarakat adat. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.

Institut USBA menilai, pengabaian hak-hak adat dalam proyek energi bukan lagi sekadar kekeliruan kebijakan, melainkan pelanggaran terhadap mandat konstitusional Otonomi Khusus itu sendiri. Oleh karena itu, Institut USBA mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh perencanaan kebijakan energi berbasis konversi lahan skala besar di Papua, termasuk proyek kelapa sawit untuk biofuel.

Sebagai langkah mendesak, Institut USBA menyerukan penerapan moratorium terhadap seluruh proyek energi yang berpotensi merampas tanah dan hutan adat, hingga terbentuk mekanisme konsultasi dan pengambilan keputusan yang sah, setara, dan bermakna bersama masyarakat adat. Mekanisme tersebut harus memenuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) serta melibatkan representasi politik-kultural masyarakat adat Papua yang diakui secara sah.

Dalam konteks ini, Institut USBA juga menuntut dibangunnya sebuah mekanisme representasi politik-kultural yang permanen, legitimate, dan diakui negara, yang sepenuhnya berasal dari dan bertanggung jawab kepada masyarakat adat Papua. Keberadaan dewan rakyat atau bentuk representasi lain yang sah dinilai penting agar masyarakat adat dapat menjadi mitra setara pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis. Tanpa kelembagaan representasi yang legitimate, dialog dinilai akan selalu timpang dan berisiko memicu konflik sosial baru.

Sebagai alternatif yang adil dan berkelanjutan, Institut USBA menegaskan bahwa Papua memiliki potensi besar untuk memimpin transisi energi berbasis komunitas. Pengembangan energi surya, mikro-hidro, serta biomassa dari tanaman lokal yang tidak merusak hutan dinilai mampu memberikan kedaulatan energi langsung bagi kampung-kampung, menciptakan lapangan kerja, serta menjaga kelestarian alam Papua.

Model energi berbasis komunitas tersebut dinilai lebih sejalan dengan cita-cita kemandirian energi dan keadilan sosial, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat adat maupun kelestarian lingkungan.

“Mengusulkan sawit sebagai solusi energi di Papua adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah dan realitas. Kita tidak boleh lagi terjebak pada ilusi bahwa keuntungan korporasi sama dengan kesejahteraan rakyat,” tegas Charles Imbir, Direktur Institut USBA.

Menurutnya, kedaulatan energi sejati bagi Papua hanya dapat terwujud apabila negara mengakui sepenuhnya kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka, serta memilih teknologi energi terbarukan yang membumi, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat Papua.

(Tim/Red)

Posting Komentar

0 Komentar